Andi Ramang begitu nama lengkapnya,
Lahir di Barru Sulawesi Selatan, 24 April 1924 silam dan meninggal dunia di
Makassar 26 September 1987 di umur 63 tahun. Adalah pemain sepak bola Indonesia
dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai
penyerang. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan
serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.
Tentu banyak dari kita yang
bertanya-tanya siapa sosok Ramang yang di abadikan namanya hingga dibuatkan
patung sebagai tanda agar bisa dikenang masyarakat Indonesia khususnya Sulawesi
selatan, sang legenda yang pernah mengharumkan nama Indonesia di kanca
sepakbola dunia.
Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih
bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis
(Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah
pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0.
Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM.
Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan
bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya,
Nyo'lo, ajudan Raja Gowa Djondjong Karaenta Lembangparang, sudah lama dikenal
sebagai jagoan sepakraga.
akat Ramang memang menurun dari sang
ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang
proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan
usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.Dan sejak saat itu Andi Anwar
Ramang menjuarai ( AFQ ) Asian Football Qatar,yang dituan rumahi Qatar pada
tahun 1971. Dan menjuarai beberapa kejuaraan bergengsi.
Karir beliau di di tim nasional indonesia dimulai pada tahun 1952 ia
menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini
menyeretnya menjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan
Nursalam di kiri, ia bagai kuda kepang di tengah gelanggang. Permainannya
sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling
di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan
disegani pemain lawan.
Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong,
Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai
dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di
antaranya lahir dari kaki Ramang.
Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai,
dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari
segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh
setiap pemain bola kita hingga saat ini, terutama tembakan salto.
Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai
bekas pemain sepakraga yang ulung. Gol melalui tendangan salto yang indah dan
mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang.
Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol
itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan
menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di
Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan
RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya
hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.
Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika pada tahun
50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh
orangtuanya.
Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah
media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne
1956. "Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari
belakang," kata Ramang. (Wikipedia)
Namun, kejayaan Ramang ternyata singkat saja, tahun 1960, sesudah namanya
sempat melangit ia dijatuhi skorsing. Ramang dituduh makan suap. Tahun 1962 ia
dipanggil kembali, tapi pamornya sudah berkurang. Pada tahun 1968, dalam usia
40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di
Medan, yang berakhir dengan kekalahan.
Meskipun setelah itu kariernya di sepak bola tidaklah betul-betul mati. Saat
ia sedang menggelepar-gelepar seperti ikan di daratan, ia mendapatkan panggilan
Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.
Sambil melakoni profesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi
seorang kenek truk dan tukang becak. Namun dalam sebuah wawancara di Majalah
Tempo (7/10/1978), Ramang mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan profesinya
sebagai penarik becak karena sibuk bermain bola. Hal itu membuat kondisi
keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat
memprihatinkan.
"Namun apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman,
mungkin sinting," kata macan bola itu. Ramang memang tak bisa lepas dari
lapangan sepak bola. Baginya, meninggalkan lapangan sepak bola sama saja
menaruh ikan di daratan. "Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati,"
katanya.
Setahun setelah kemenangan klubnya 9-0 dalam kompetisi PSM, Ramang sudah
keliling Indonesia bermain bola. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang
datang melamarnya bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Gajinya?
Tak pernah naik tetap saja Rp 3.500. Untungnya hanya satu, ia masih tetap bisa
main bola.
Karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu
menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektare kebun
cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal
menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Penghargaan seperti ini tak pernah
ia dapatkan di PSM Makassar.
Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan
Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya
karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya
mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari
mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.
Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih
berharga dari kuda pacuan. "Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah
bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada
panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi," katanya dengan kecewa.
Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu.
"Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai
kuda pacuan?" katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya,
hingga ia seringkali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang
wartawan.
Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu
menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang
menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama
penulisnya.
Suatu malam pada tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM, Ramang pulang
dengan pakaian basah dan membuatnya sakit. Enam tahun ia menderita sakit di
paru-parunya tanpa bisa berobat ke Rumah sakit karena kekurangan biaya. Pada
tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak bola
legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni
bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang.
Ramang dimakamkan di TPU Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung
di lapangan Karebosi dibuat untuknya. Selain itu hingga sekarang salah satu
julukan PSM Makassar adalah Pasukan Ramang.
Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepak bola itu. Apalagi
Ramang kini hanya diapresiasi dengan sebuah patung yang dibuat seadanya, yang berdiri
di pintu utara Lapangan Karebosi, namun dibongkar alasan pembangunan dan
dibangun lagi di pantai Losari Makassar.
sumber wikipedia